KASIH YANG TANPA SYARAT | YOHANES 21: 9 – 11
Sobat Obor, Di sebuah desa nelayan, seorang ayah selalu menanti kepulangan anaknya yang merantau. Setiap sore, ia duduk di beranda rumah, menatap jalanan berdebu dengan harapan. Suatu hari, anaknya pulang, tetapi dengan kepala tertunduk. “Ayah, aku gagal. Aku malu pulang seperti ini.” Sang ayah tersenyum dan menuntunnya ke dapur, di mana api perapian menyala dan aroma makanan menguar. “Aku tidak peduli seberapa gagal atau berhasilnya kamu di luar sana. Yang penting, kamu sudah pulang. Duduk dan makanlah,” katanya sambil menyodorkan makanan hangat.
Inilah gambaran kasih Yesus kepada murid-murid-Nya di tepi Danau Tiberias. Setelah berjuang semalaman tanpa hasil, mereka mendapati Yesus sudah menyiapkan sarapan untuk mereka, api unggun, ikan, dan roti. Peristiwa ini tentu bukan sekedar tentang makanan, tetapi juga tentang penerimaan dan pemulihan. Yesus tidak menunggu murid-murid-Nya membawa hasil sebelum mengundang mereka makan. Ia tidak berkata, “Tunjukkan hasil tangkapan kalian dulu.” Sebaliknya, Ia sudah menyiapkan makanan. Hal Ini menandakan simbol kasih karunia: kita tidak perlu membawa keberhasilan untuk diterima oleh Tuhan. Dia telah menyediakan kasih-Nya tanpa syarat. Saat Yesus meminta para murid membawa ikan yang baru mereka tangkap, itu tandanya bahwa Tuhan menghargai usaha kita, sekecil apa pun. Simon Petrus, dalam semangatnya yang menggebu-gebu, menarik jala penuh ikan: 153 ekor. Jumlah ini melambangkan kelimpahan dan inklusivitas.
Sobat obor, bagian perikop ini mengiatkan kita, akan betapa pedulinya Yesus bagi kehidupa kita. Saat kita merasa gagal atau tak layak, Yesus sudah menunggu kita dengan api unggun kasih-Nya. Ia tidak menuntut hasil sebelum menerima kita. Sebaliknya, Ia mengundang kita datang dan menikmati persekutuan dengan-Nya. Karena itu, marilah kita datang dan membawa apa yang kita miliki, betapa pun kecilnya, untuk dipersembahkan kepada-Nya. Amin (MT)