Tidak Serakah | Yeremia 29:7
Keserakahan adalah lambang bencana dan pangkal malapetaka. Ia bagaikan seorang ayah yang menghisap semua sari buah tebu, dan menyisahkan ampasnya bagi anak cucunya. Itu berbahaya. Namun banyak yang suka terhadapnya. Sehingga benarlah apa yang diungkapkan Epictetus: “Hidup adalah proses, dimana kita dapat belajar untuk saling tidak peduli”. Karena tuntutan hidup yang semakin tinggi, karena persaingan yang semakin keras, kita cenderung mengutamakan diri kita dan mengabaikan orang lain.
Yeremia bisa saja menjadi orang serakah, jika ia masa bodoh terhadap nasib bangsanya. Ia bisa saja menunjukan sikap acuh tak acuh terhadap kesejahteraan kota bangsa Babilonia. Namun, hal itu tidak berlaku baginya. Dengan mata hatinya ia melihat bahwa orang-orang Yahudi seharusnya membangun hubungan dengan bangsa Babel. Mereka harus mengusahakan kemakmuran dan perdamaian bahkan mendoakan bangsa penjajah. Mereka harus hidup sewajarnya dan bukan melawan. Sebab sungguh tidak enak jika kita bermusuhan dalam waktu yang lama, apalagi sampai tujuh puluh tahun.
Sobat obor, kalau kita mau membangun sebuah bangsa, marilah kita laksanakan dengan membangun hidup sebaik-baiknya. Yaitu hidup yang tidak tenggelam oleh kepentingan diri sendiri. Kepentingan kita adalah kepentingan sesama. Kepentingan Yeremia adalah kepentingan bangsanya. Pada akhirnya Yeremia mati ditangan bangsanya sendiri justru setelah terbukti betapa semua nubuatnya benar. Namun ia mati dengan berguna, sebab telah ia tanamkan nilai kebenaran semasa hidupnya. Begitulah hidup yang berkualitas. Kita tidak serakah, tidak frustasi, bahkan acuh tak acuh. Mengikut arus zaman sekarang begitu menguntungkan, sedangkan berpaut kepada Tuhan itu sering merugikan. Namun dibalik ketaatan mengikuti kehendak-Nya, kita pasti berbuah manis. Menjadi generasi penerus gereja dan bangsa yang tidak serakah! Amin (MT)