Diam | Kejadian 22 : 9-10
Sobat obor, selain Abraham yang menjadi teladan dalam bacaan ini, tentang imannya yang siap untuk mengorbankan anaknya Ishak; anaknya yang tunggal itu. Tentu kita harus melihat seorang sosok Ishak, anak yang seharusnya akan dikorbankan itu. Pertanyaan Ishak di ayat sebelumnya, tentang dimanakah anak domba untuk korban bakaran tentu mengandung maksud bahwa Ishak pun kebingungan dengan apa yang akan dilakukan oleh Abraham ayahnya. Kalau tak ada hewan korban, berarti akulah yang akan dikorbankan. Apakah ayah setega itu untuk seorang anak yang disayanginya. Begitu pikir Ishak kira-kira. Tapi dugaan itu menjadi kenyataan ketika sang ayah mendirikan mezbah, menyusun kayu, mengikat Ishak dan meletakkanya di mezbah itu.
Tidak disebutkan apapun tentang sikap Ishak ketika menghadapi kenyataan bahwa ia sendirilah yang akan menjadi kurban untuk Tuhan. Tak disebutkan pula tentang penolakan atau perlawanan kepada ayahnya. Kita tak tahu apa yang ada dalam pikiran Ishak. Tapi peristiwa ini hendak mengarahkan kita pada karya agung, Sang Anak Allah yang dikorbankan dimasa kemudian. Tuhan Yesus juga sebisanya bertanya kepada Bapa tentang penderitaan yang harus ia lewati ketika penebusan dilakukan. Mungkin Ia bisa menolaknya, mungkin ia bisa melawan, seperti perkataan-Nya untuk mendatangkan sepasukan malaikat, menghalau para prajurit dan Imam Kepala yang datang hendak menangkapnya. Tapi, Ia tak melakukannya, Ia diam. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang keluh didepan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya (Yes. 53:7). Ishak diam, karena dia yakin ayahnya tak akan berbuat sesuatu yang mencelakakan dia. Anak Allah diam, karena Ia tahu ada rencana besar dan agung yang dibuat Bapa untuk menyelamatkan manusia. Mereka diam karena memberi jalan untuk karya keselamatan. Kadang kita pun harus diam untuk Allah berkarya. Amin. (DLW)